
Surabaya,kupastajam.com. 5.Desember 2025 – Kasus “Guru Check-In” memasuki babak baru yang lebih memprihatinkan. Dwi Sudarwati, PNS SMKN 1 Surabaya, secara terbuka mengakui meninggalkan jam mengajar, namun berkelit hanya “mengantarkan pijat” ke Hotel Teratai. Alibi ini, bukannya meredakan, justru memicu badai baru: dugaan persekongkolan untuk melindungi pelaku dan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap dunia pendidikan Surabaya.
Dari Perselingkuhan ke Persekongkolan: Aroma Busuk di SMKN 1 Surabaya!
Pengakuan Dwi Sudarwati bak bom waktu yang meledak. Alih-alih mengakui kesalahan dan meminta maaf, ia justru memberikan alibi yang terasa janggal dan tidak masuk akal. Lebih parah lagi, rekan-rekannya di SMKN 1 Surabaya, terutama Badarudin, menunjukkan sikap defensif dan terkesan menghalang-halangi awak media dalam mencari kebenaran.
Sikap ini memunculkan dugaan kuat adanya persekongkolan untuk melindungi Dwi Sudarwati dan menutupi aib yang mencoreng nama baik sekolah. Apakah ada kekuatan yang lebih besar di balik upaya “cuci tangan” ini? Pertanyaan ini menggantung di benak publik dan menuntut jawaban yang transparan.
“Pijat” di Jam Kerja: Penghinaan terhadap Profesi Guru!
Alibi “mengantarkan pijat” yang dilontarkan Dwi Sudarwati bukan hanya tidak meyakinkan, tapi juga merendahkan martabat profesi guru. Bagaimana mungkin seorang PNS meninggalkan tugas mengajar yang mulia hanya untuk mengantar pijat, apalagi di tengah jam kerja yang seharusnya didedikasikan untuk mendidik generasi muda?
Tindakan ini adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan Surabaya dan menunjukkan betapa rendahnya moralitas sebagian oknum guru yang seharusnya menjadi teladan bagi siswa-siswinya.
Lukman Sholeh: Suara Kejujuran di Tengah Kegelapan!
Di tengah upaya menutup-nutupi kasus ini, secercah harapan muncul dari Lukman Sholeh, seorang pengajar di SMKN 1 Surabaya yang berani bersuara lantang. Ia menegaskan bahwa tindakan Dwi Sudarwati meninggalkan jam mengajar tanpa alasan yang jelas tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran etika yang serius.
Keberanian Lukman Sholeh patut diacungi jempol. Ia adalah bukti bahwa masih ada guru yang menjunjung tinggi integritas dan tidak takut untuk melawan arus demi kebenaran.
Krisis Kepercayaan: Dunia Pendidikan Surabaya di Ujung Tanduk!
Kasus “Guru Check-In” bukan sekadar skandal perselingkuhan biasa. Ini adalah krisis kepercayaan yang mengancam dunia pendidikan Surabaya. Masyarakat, terutama para orang tua siswa, merasa kecewa dan marah karena guru yang seharusnya menjadi panutan justru melakukan tindakan amoral dan tidak bertanggung jawab.
Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius dan transparan, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan akan semakin merosot dan generasi muda akan kehilangan sosok teladan yang seharusnya mereka ikuti.
Tuntutan Aksi Nyata: Dinas Pendidikan Harus Bertindak!
Kini, bola panas berada di tangan Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Masyarakat menuntut tindakan nyata dan tegas untuk membersihkan dunia pendidikan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan merusak citra profesi guru.
Beberapa langkah yang mendesak untuk dilakukan antara lain:
Investigasi Mendalam: Membentuk tim independen untuk melakukan investigasi mendalam terhadap kasus ini, termasuk dugaan persekongkolan untuk melindungi pelaku.
Sanksi Tegas: Menjatuhkan sanksi yang setimpal kepada Dwi Sudarwati dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam upaya menutup-nutupi kasus ini.
Evaluasi Kode Etik: Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kode etik guru dan meningkatkan pengawasan terhadap perilaku tenaga pendidik di luar jam kerja.
Pemulihan Kepercayaan: Melakukan langkah-langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan, termasuk menggelar sosialisasi dan dialog terbuka dengan orang tua siswa.
Kasus “Guru Check-In” adalah momentum untuk melakukan reformasi total di dunia pendidikan Surabaya. Mari kita bersama-sama membersihkan dunia pendidikan dari oknum-oknum yang merusak moralitas dan mencoreng citra profesi guru!
(red)
